0

YAHUDI NENEK MOYANG ORANG INDONESIA,Meluruskan Jejak Peradaban, Sebuah Perjalanan Iman.

Tuesday 15 January 2013

Bagian 1 dari 2 tulisan

Buku-buku sejarah banyak menyebutkan bahwa nenek moyang orang Indonesia berasal dari Yunan atau Hindia belakang.
Di mana itu Yunan? Samakah dengan Yunani? Di mana Hindia Belakang? Apakah itu sama dengan Persia?
Dan, kenapa banyak kata-kata dalam bahasa Melayu Tua (Minangkabau) yang mirip dengan bahasa Inggris?
Apa hubungan antara peradaban Melayu dengan Eropa? Model keterkaitan apa yang dimiliki oleh etnis Minangkabau dengan bangsa Inggris? Misteri apa yang ada di dalamnya?
Tulisan ini mencoba mencari jawabannya, melacak jejak peradaban tua antara suku Minangkabau dengan Eropa Timur, nenek moyang bangsa Inggris yang juga nenek moyang orang Minang.
Meskipun data primer banyak diambil dari unsur bahasa (warisan terbesar dari peradaban sebuah bangsa), namun buku ini juga sarat akan implikasi sejarah, sosiologis, politik, arkeologis dan keilmuan lainnya.
Banyak mata rantai (missing link) yang putus, bisa tersambung lagi.
Meskipun bahasa Melayu Muda (deutro Malay) banyak mengambil kata serapan dari bahasa Arab, namun tak sedikit kata-kata asli (diserap ke dalam Bahasa Indonesia dan lazim dikenal hingga hari ini) berasal dari penutur moyang Eropa.
Contoh padanan kata yang bermuatan unsur Eropa seperti atok (atap) dengan attic, alang (elang) dengan eagle, awak (kita) dengan our, biduak (biduk) dengan boat, karek (kerat/potong) dengan carrat atau itiak (itik) dengan duck.
Atau, seperti kata elok dengan elegant, buah dengan fruit, hati dengan heart, buruang (burung) dengan bird, baro (bara) dengan fire / pharo, ampek (empat) dengan four, pacu dengan pace, capek (cepat) dengan speed.
Orang boleh bilang bahwa durian adalah sejenis buah-buahan khas dari Nusantara, tapi tak bisa dinafikan kedekatan unsur katanya dengan thorn (duri) sehingga ia bernama durian.
Contoh kata-kata lazim lainnya adalah etek (bibi) dengan aunty, duo (dua) dengan two, badan dengan body, lintah dengan leech, lampu dengan lamp, atua (atur) dengan order atau sakik (sakit) dengan sick hingga ke sadiah (sedih) dengan sad.
Tabel dan uraian berikut berisi tentang kemiripan bahasa Minangkabau dengan bahasa Eropa yang dipilih dari kata-kata yang lazim dipakai dan masih dipahami hingga kini.
Bahasa Minangkabau berperan penting di Nusantara karena merupakan inti dari bahasa Melayu yang diserap menjadi Bahasa Indonesia dan Malaysia.
Metode penelitian ini lebih tepat disebut sebagai Metoda Tabulasi Diktif (Tabulated Diction Method) karena metoda lain yang lebih pas sepertinya belum tersedia.
Pada perkampungan Minangkabau lama (Pagaruyung) wilayah bagian timur istana adalah perbukitan. Ini menjelaskan asal kata ateh (atas) yang mirip dengan east (timur) dalam bahasa Inggris.
Andaleh adalah sebutan yang dipakai Iskandar Zulkarnain ketika menemukan Pulau Sumatera.
Sebagai Raja yang juga Nabi, Iskandar melakukan perjalanan penaklukan atas tiga benua sembari memetakan Bumi dan mencari jejak benua yang hilang, Atlantis, asal kata dari atlas.
Bentuk pemetaan benua yang hilang itu mirip dengan daun talas (sejenis keladi) yang di masa itu banyak ditemukan di Pulau Sumatera.
Kabarnya, peta Atlantis yang digambarkan mirip daun talas (taleh) itu masih tersimpan di satu museum di Turki. Akurasi pemetaan itu sempat membuat kalangan ilmuwan tercengang karena mirip pemetaan hasil foto satelit.
Belum lama ini para ilmuwan juga telah menemukan gunung terbesar di dunia, di bawah laut sebelah Barat pulau Sumatera. Lebar puncaknya saja diyakini hampir mencapai 30 km.
Melihat ukurannya, gunung tersebut (kita sebut saja Gunung Andaleh) cocok sebagai tempat dimulainya pembuatan perahu Nabi Nuh, mengingat kapasitas yang besar yang dibutuhkan untuk menampung semua jenis hewan berpasangan selain manusia.
Besarnya ukuran perahu membutuhkan bahan pembuat yang banyak pula, yakni kayu dan bambu. Nabi Nuh AS tidak kesulitan mendapatkan kedua jenis bahan itu dalam kuantitas banyak dari hutan-hutan di Gunung Andaleh, mengingat ukuran gunung tersebut.
Inilah alasan utama kenapa rombongan Zulkarnain memilih menetap di Sumatera Barat karena misi utamanya tercapai, menemukan kembali jejak benua yang hilang, Atlantis, seperti diwasiatkan guru-gurunya, Aristoteles, Plato dan Socrates, para filsuf terkemuka asal Yunani.
Pada perkampungan Minang lama, sebelah Barat istana Pagaruyung ditandai dengan contour tanah yang lebih rendah. Ini menjelaskan asal kata bawah yang berdekatan dengan west dalam bahasa Inggris atau baruah (bawah) yang berdekatan dengan barath dalam bahasa Persia / Sanskerta.
Beberapa kata baru seperti balerong atau balairung berasal dari gabungan balai dan ruang atau balai ruang. Ini menunjukkan tren penyingkatan dua suku kata pada generasi muda.
Artinya, karena kata-kata yang mirip dengan bahasa Inggris lebih singkat dan pendek dari kata-kata Minangkabau, maka dapat disimpulkan bahwa bangsa Inggris lebih muda dari Minangkabau.
Artnya lagi, sejarah dan asal-muasal bangsa Melayu jauh lebih tua dari bangsa Inggris.
Pola yang sama terjadi pada kata-kata seperti garon atau karon dari kata karan (crown) dan ujuang (edge) menjadi garonjong dan berakhir pada gonjong.
Kata-kata lama seperti baribeh (bear atau beruang) sampai hari ini masih dipakai di beberapa desa di wilayah kabupaten Agam terutama sekitar Matur sampai ke Palembayan, dan meski terbilang langka, hewan itupun masih ada di hutan-hutan sekitar.
Baribeh sering bertemu dengan pemburu saat kegiatan buru babi (Sumbar juga terkenal dengan PBB-nya, Persatuan Buru Babi), terutama saat musim durian, makanan favoritnya.
Uniknya, hewan itu bisa memanjat bahkan kuat untuk mencabik batang pohon, tapi turun dengan membuang badan sedemikian rupa menempatkan belahan rusuk sebagai bantalan.
Menurut salah seorang tetua kampung di Palembayan, karena berbulu tebal, baribeh sangat takut dengan api, bahkan terhadap nyala korek api yang relatif kecil.
Apabila terjadi konflik, manusia tidak perlu menggunakan senjata tajam, cukup memukul hidungnya, bagian terlemah dan paling menyakitkan bila terkena pukulan, maka ia akan kabur sambil melolong kesakitan.
Untuk menghormati kelangkaan hewan tersebut, penulis di sebuah forum diskusi komunitas orang Minang pernah menggunakan nama alias Sutan Baribeh, meski baribeh kurang familiar di telinga mereka.
Kata cako (ago) masih dipertahankan oleh segelintir komunitas di daerah luhak Agam dan kampung-kampung terdekat yang berbatasan dengan kabupaten tersebut yang artinya, tadi.
Carano (coronation) adalah sejenis tempayan terbuat dari tembaga tempat menaruh sirih yang biasa dipakai sebagai alat untuk mengundang karib-kerabat ke sebuah perhelatan seperti acara perkawinan.
Corong (karan, crown, horn) adalah tanduk kerbau yang ujungnya diberi lobang tempat tiup dipakai sebagai terompet, alat musik atau pengeras suara.
Meskipun adat Minangkabau adalah matriarkat, tapi keputusan-keputusan penting diambil oleh penghulu adat yang disebut datuk (dictate).
Karena itu di tengah masyarakat Minangkabau dikenal jargon, "Hitam kata saya, hitam. Putih kata saya, putih." Dari sinilah terlihat unsur kedekatan makna datuk dengan dictate meskipun dalam kultur matrilineal warisan jatuh ke tangan perempuan.
Dictate atau diktator adalah gelar yang disandangkan kepada raja-raja di Eropa masa itu.
Dari kata durian yang mirip dengan thorn (duri) dapat diketahui salah satu alasan pendatang Eropa Timur (betah menetap di Sumatera a.l. karena enaknya buah durian.
Dukun (doctor) adalah sebutan yang dipakai oleh pasukan Iskandar Zulkarnain untuk mengobat tentaranya yang terluka, sekarang semacam Palang Merah atau Red Cross.
Pengobatan biasanya dilakukan dengan ramuan dan obatan dari sari tumbuhan. Karena itu, nuansa dukun di sini lebih dekat kepada herbalis ketimbang dukun mantra.
Sifat daun keladi digambarkan oleh petikan lagu, "Ibarat air di daun keladi" yang seolah tidak pernah bisa menempel dan bila tergoyang sedikit, mudah tergelincir dan jatuh.
Sifat glide (gelincir) pada daun keladi ini digambarkan dalam kata-kata seperti galia (lihai) untuk konotasi positif negatif dan galadia (nakal / penipu) untuk konotasi negatif.
Beberapa kelompok kata bisa dimasukkan dalam pola thesaurus (memiliki makna yang berdekatan) seperti jarak, jangkau dan jauah dengan direction, range and distance.
Lihat keterangan tentang kota Barus yang mengekspor kapur (camphor) untuk mengawetkan mayat di Mesir.
Kemiripan kata kapak dengan axe dan carpenter menunjukkan bahwa Minangkabau bukanlah berasal dari jaman batu baru atau neolithicum.
Mereka muncul di zaman yang sudah mengenal perkakas logam, karena sejauh ini tidak ditemukan peralatan dari batu.
Mereka sudah mengenal konstruksi bangunan dari batu (seperti pada kata Batu Sangkar, Batu Hampar, Batu Limbak, dll), maka dapat disimpulkan bahwa suku Minangkabau sudah mengenal kebudayaan tembok seperti di Eropa pada masa itu (lk 300 tahun sebelum Masehi).
Batu mirip dengan beit (rumah) dalam bahasa Ibrani.
Hal yang sama berlaku untuk atok (atap) yang mirip dengan attic (loteng). Selain itu, juga dikenal transportasi waktu itu yang disebut biduak (perahu), kata yang mirip dengan boat.
Penggunaan kata kabau (kerbau) yang berdekatan dengan buffalo atau caribou (sejenis kerbau yang hidup di daerah dingin) menunjukkan bahwa bangsa Minangkabau berasal (atau setidaknya) telah mengenal pola kehidupan di daerah bersalju.
Kalaulah suku Minangkabau asli berasal dari daerah tropis (Asia Tenggara) semata, bagaimana mungkin mereka bisa mengenal habitat dan jenis hewan dari daerah bersalju?.
Dan ciri kebudayaan lain yang sulit dipungkiri adalah penggunaan kata karek yang dipakai oleh masyarakat Eropa dalam menentukan kualitas intan berlian yakni carrat yang artinya sama, cut atau potongan.
Selain faktor caribou, bukti lain yang menunjukkan suku Minangkabau berasal dari Eropa Timur adalah cukup banyak kata-kata berakhiran ek a.l. seperti lambek (lamb), tabek (tub), sakek (stuck), liyek (look) dan sangek (sting), mirip dengan nama-nama orang Polandia seperti Jacek, Pacek atau dari Yugoslovia (Bangsa Slav) seperti Movic, Jizdic, Sovic dan lain-lain.
Di beberapa tempat di Sumatera Barat seperti daerah Ombilin di tepi Danau Singkarak, masih banyak ditemukan kelompok masyarakat yang menyebut danau dengan lauik (laut).
Ini menunjukkan bahwa istilah laut bukan berasal dari daerah pesisir melainkan dari kawasan berdanau yang notabene adalah pegunungan (darek).
Lauik atau lake (danau) termasuk bahasa purba, bahkan kitab suci seperti Al Quran juga menggabung makna samudera dan danau sebagai laut, meski keduanya saling terpisah satu sama lain.
Kemiripan lain bahasa Minang dengan unsur Eropa juga bisa ditemukan dalam kata-kata seperti mande (mother), namo (name) dan ondeh atau aduah (ouch atau wound) yang dalam bahasa Indonesia dipakai menjadi aduh atau waduh.
Meski Inggris modern memakai kata free tapi dalam bahasa lama disebut fri (dibaca: frai) seperti pada kata Friday (Jumat).
Masyarakat Eropa Timur (pengaruh agama Ibrani) waktu itu cukup relijius, terlihat dari kebiasaan mereka membebaskan hari Jumat dari segala kegiatan duniawi, karenanya hari itu disebut Friday.
Dan, kata yang mirip fri dalam bahasa Minangkabau adalah perai.
Rumpuik (rumput) dikenal karena sifatnya yang mudah menyebar dan tumbuh di mana-mana (rampant).
Struktur kalimat yang dipakai dalam bahasa Minang memiliki banyak kemiripan dengan bahasa Sunda. Maka dapat disimpulkan bahwa etnis Sunda adalah deutro Minangkabau atau Minang Muda.
Cukup banyak ditemukan kemiripan bahasa Minang dengan Sunda seperti rangik (nyamuk) dalam bahasa Sundanya rengit.
Atau, seperti hantok & hantap (diam, cuek), tirih & tiris (bocor), sasah (cuci), gilo & gelo (gila), urang (orang, kita), padang (lapang / terang), kanyiak dan kadinya (dekat situ), maruhun dan karuhun (sesepuh yang bijak / saleh).
Kata karuhun (bentuk jamak dari kuhun) ini juga dipakai oleh komunitas Ibrani di Eropa Timur sebagai marga yakni cohen atau kahin (kohain) yang berarti garis keturunan langsung dari nenek moyang orang-orang saleh dari Bani Harun (saudara Nabi Musa AS).
Juga, bisa dimengerti bila ada kemiripan antara kata pagar pada Pagaruyuang dengan pajar pada Pajajaran

SUMBER :
Author: AC St Rangkayo Labieh
Penerbit: (belum ada)
Co-publisher: SurauNet
Harga: gratis (untuk para donatur) Bandrol umum: ditentukan oleh mitra penerbit

0 Responses to "YAHUDI NENEK MOYANG ORANG INDONESIA,Meluruskan Jejak Peradaban, Sebuah Perjalanan Iman."