0

SASTRA CHETA

Thursday 24 January 2013

oleh: Timmy Hartadi (Turangga Seta)MEMBACA ALAM 
Dalam bahasa sansekerta, Sastra berarti tulisan dan Cetha berarti jelas; pengertian dari Sastra Cetha itu adalah sastra yang tersirat atau informasi tak terbatas yang sudah digambarkan secara jelas oleh alam raya, sebegitu jelasnya sehingga kalau kita menggunakan daya penangkapan yang terlalu tinggi dan rumit (baca : ilmu pengetahuan, filsafat dan dogma) malah jadi tidak kelihatan, sebagian dari Sastra Cetha itu telah diusung dalam suluk pedalangan (cerita pewayangan).

Contoh paling jelas dari Sastra Cetha itu adalah :
  1. Apabila ibu melahirkan bayi, apabila bayi itu bertambah umur, dia pasti akan menjadi anak-anak kemudian beranjak remaja, dewasa dan tua ...jelas sekali, karena itu pakem dan tidak mungkin seorang ibu akan melahirkan sosok dewasa, setelah itu kalau bertambah umur akan jadi bayi kemudian tua dan baru anak-anak.
  2. Apabila pagi hari, waktu berjalan terus ...maka akan tiba siang hari, sore hari dan kemudian malam hari ...begitu seterusnya, dan itu pakem, tidak mungkin terbalik-balik.
  3. Apabila di langit terlihat mendung yang sangat pekat, maka biasanya akan terjadi hujan (pasti terjadi hujan, cuma belum tentu wilayah di mana mata melihat mendung akan kena hujan karena hujannya kemungkinan ada di wilayah lain).
  4. Dll, dll. 

Kalau dalam suluk pedalangan, posisi tentang pola kraton itu selalu akan tergambar di awal dalang (yang pakem) membuka pagelaran ...'ngayunaken bandaran ageng, nglajengaken wukir' atau 'menghadap ke pelabuhan raya dan membelakangi gunung', pelabuhan raya di sini bisa saja menghadap laut atau sungai besar di mana akan terdapat pelabuhan besar. Kosmologis dari wukir atau gunung sendiri adalah sebagai tempat pertama kali populasi manusia diturunkan, karena Dewa ngejawantah itu berarti akan turun dari kahyangan di tempat tertinggi yang ada di arcapada (ini sekaligus membantah teori penyebaran manusia dari pesisir ke pedalaman), karena manusia adalah ciptaan para Dewa, maka secara jelas bahwa populasi manusia awal itu dari daerah ketinggian (gunung) yang kemudian menyebar ke dataran yang lebih rendah. Itu sebabnya kenapa semua kraton-kraton kerajaan kuno letaknya berada di atas gunung yang pada peradaban berikutnya mulai turun ke lereng baru kemudian menyebar ke kaki gunung dan ke dataran rendah. Dan itu pula sebab kenapa Turangga Seta dengan sangat mudahnya menemukan semua posisi kerajaan dan kraton kuno.

Satu misal adalah, pada saat Panembahan Senapati membuka Alas Mentaok dan mendirikan Kerajaan Mentaram (Mentaram adalah bahasa Kawi, Mataram adalah bahasa sansekerta), posisi kraton beliau menghadap ke arah tenggara (laut Selatan) dengan di belakangnya adalah Gunung Merapi, itu karena Danang Sutawijaya (Panembahan Senapati) merupakan titis dari Sang Hyang Batara Brama yang salah satu sukuning kahyangan (kaki kahyangan)-nya adalah Gunung Merapi. Berarti kewibawaan dari Panembahan Senapati dilindungi oleh pamor dari Sang Hyang Batara Brama. Sang Hyang Batara Brama dalam kapasitasnya 'menitis' inilah yang kemudian beliau disebut dengan Syiwa Maha Agni.

DI BALIK 'LAKU'

Membaca Alam pada fase berikutnya akan bersinggungan dengan dimensi lain atau gaib, seringkali semua pelaku spiritual terjebak ke hal-hal yang bersifat elementary seperti meditasi, puasa atau memburu segala ilmu dari segala guru dan segala buku, akhirnya yang didapat hanyalah sekian ribu wejangan dan berbagai cara menembus dimensi keluhuran dan ujung-ujungnya adalah melulu hanya ajaran untuk berbuat baik, pertanyaannya adalah ...apakah cukup hanya dengan berbuat baik ? ...apakah baik (yang kata sifat) dapat mengubah tatanan semesta ?

Ajaran 'baik' hanya bersifat ajakan dan himbauan saja, tetap hanya sebuah kata-kata atau filsafat, tetapi tidak ada yang dapat menerangkan bagaimana caranya ? melalui apa ? akan sampai dimanakah ?

Baik (dan benar) harusnya mengiringi sebuah aplikasi atau yang biasa disebut dengan Laku, dan Laku tidak tergantung dari proses belajar kemana-mana, meditasi atau puasa, Laku ya Laku, mung ngerti corone opo ora ? ..dan ironisnya cara awal untuk memulai Laku itu sudah ada di hampir semua sastra kuno, cara awal itu yang kita kenal dengan sebutan Mantra.

Mengenai segala macam yang berhubungan dengan 'Password' (dibaca : mantra), mantra itu ya mantra, sangat simpel dan tidak perlu diartikan, karena kalau kita terjebak ke masalah pengartiannya berarti kita akan masuk dalam putaran filsafat (permainan kata-kata saja).

Analogi-nya adalah begini : apabila kita mendapatkan turunan tentang sebuah 'bukaan' atau password yang bisa disamakan dengan apabila kita mempunyai sebuah email.

Kita mendapatkan sebuah email yang sudah lengkap dengan 'user name' dan 'password'-nya. User Name yang kita dapat adalah 'nama', dan password-nya adalah 'rahasia'. Seharusnya, apabila kita mengisikan 'user name' dengan ketikan 'nama' dan mengisikan 'password' dengan ketikan 'rahasia' maka kita akan dapat mengakses email tersebut, sangat simpel sekali.

Tetapi oleh banyak orang di masa peradaban yang gak jelas ini, pada saat mereka mengisikan kolom 'user name' dengan 'nama' dan kemudian mengisikan kolom 'password', mereka semua berpikir ...apakah arti dari kata 'rahasia' itu, yang kemudian diasumsikan dengan gatuk-entuk pengartian sampai jungkir balik dan salto berputar mengutak-atik kata-kata dari 'rahasia' ...jangan-jangan 'rahasia' itu dari kata-kata 'rahsa/ rasa' dan 'asia' ? ...apakah artinya ? dan ada apa di balik kata-kata itu tadi, akhirnya untuk menterjemahkan kata 'rahasia' itu terbentuklah forum-forum diskusi, bahkan sampai meningkat ke padepokan. Putaran pembahasan semakin meningkat, bahkan dari beberapa orang yang merasa dirinya tau, dibuatlah asumsi dan pengartian dari 'rahasia' itu sejumlah buku yang tebalnya melebihi batu bata, diadakan sejumlah penelitian dan kajian mengenai itu semua yang akhirnya sampai ke ranah akademis, bahkan kemudian banyak program studi, jurusan bahkan sampai ke fakultas yang mengkhususkan untuk membahas semua hal yang berawal dari 'rahasia' itu, akhirnya banyak gelar terproduksi dari semua proses tersebut, bahkan setingkat Doktor dan Profesor yang kemudian menjadi nara sumber dan guru besar untuk semua hal yang berbau 'rahasia'.

Kembali ke email, pada saat kemudian mereka mengakses email seperti yang disebut di awal, maka pada kolom 'user name' diketiklah kata 'nama', dan pada saat mau mengisi kata dari kolom 'password' ...ternyata dalam putaran waktu dan pusaran keilmuan, kata 'rahasia' itu sudah disimpulkan kalau artinya adalah 'secret', maka diisikan kolom 'password' dengan isian kata 'secret' dan kemudian di-enter! ...apakah dapat masuk ke dalam email setelah itu ? ...tentu saja tidak !, dan itulah kondisi sekarang ini (selama 500 tahun terakhir ini) dari nilai spiritual Nuswantara, seperti permainan 'ping-pong', hanya memantul dan dipantulkan kembali ke pengartian kata demi kata, dan semakin diartikan lagi akan semakin jauh dari pakem-nya, itu yang kita namakan filsafat yang menyesatkan :-D

Padahal kalau kita tidak mengubah apapun dari 'user name' dan 'password' itu, dan setelah kita masuk ke dalam email, tidak cukup hanya sebatas meng-enter password saja. Taruh kata kita mengisi dengan benar, kolom 'user name' diisi dengan kata 'nama', dan kolom 'password' diisi dengan kata 'rahasia' kemudian kita enter.

Setelah masuk ke dalam ruang dalam email, kalau kita ingin mencaritahu sebuah info yang mungkin sudah ada dan ditujukan kepada kita, kita haruslah menekan tombol 'inbox' dan membacanya. Apabila kita ingin mengirimkan suatu pesan, jangan lupa tekan tombol 'new' atau 'compose', isi tujuan akan kemana kita mengirimkan suatu pesan, isi juga 'subject' atau judul dari pesan itu, dan jangan lupa menuliskan pesan itu sendiri. Selesaikah ? ...belum ! ...jangan lupa tekan tombol 'send'.

Kira-kira seperti itulah cara rahasia alam semesta bekerja, sangat simpel, sudah terlihat sangat jelas dan sangat besar, begitu besarnya apabila kita sadari bahwa ternyata kitapun hidup dan berdiri di atas penjelasan alam raya itu sendiri.

Semoga berguna ...Rahayu _/\_

Timmy Hartad | Turangga Seta

Radite Jenar (Minggu Wage), 27 Maret 2011 | Wuku Wayang

[diambil dari penggalan narasi internal dengan judul yang sama]

0 Responses to "SASTRA CHETA"