0

ISLAM MASUK KE NUSANTARA SAAT RASULULLAH SAW MASIH HIDUP

Sunday 24 February 2013

Islam masuk ke Nusantara dibawa para pedagang dari Gujarat, India, di abad ke
14 Masehi. Teori masuknya Islam ke Nusantara dari Gujarat ini disebut
juga sebagai Teori Gujarat. Demikian menurut buku-buku sejarah yang
sampai sekarang masih menjadi buku pegangan bagi para pelajar kita, dari
tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, bahkan di beberapa
perguruan tinggi.

Namun, tahukah Anda bahwa Teori Gujarat ini
berasal dari seorang orientalis asal Belanda yang seluruh hidupnya
didedikasikan untuk menghancurkan Islam?

Orientalis ini bernama
Snouck Hurgronje, yang demi mencapai tujuannya, ia mempelajari bahasa
Arab dengan sangat giat, mengaku sebagai seorang Muslim, dan bahkan
mengawini seorang Muslimah, anak seorang tokoh di zamannya.

Menurut
sejumlah pakar sejarah dan juga arkeolog, jauh sebelum Nabi Muhammad
SAW menerima wahyu, telah terjadi kontak dagang antara para pedagang
Cina, Nusantara, dan Arab. Jalur perdagangan selatan ini sudah ramai
saat itu.

Mengutip buku Gerilya Salib di Serambi Makkah
(Rizki Ridyasmara, Pustaka Alkautsar, 2006) yang banyak memaparkan
bukti-bukti sejarah soal masuknya Islam di Nusantara, Peter Bellwood,
Reader in Archaeology di Australia National University, telah melakukan
banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara.

Bellwood
menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelima
masehi, yang berarti Nabi Muhammad SAW belum lahir, beberapa jalur
perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara
dengan Cina. Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggu
dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di selatan Sumatera
dan di Jawa Timur membuktikan hal ini.

Dalam catatan kakinya
Bellwood menulis, “Museum Nasional di Jakarta memiliki beberapa bejana
keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara. Selain itu, banyak barang
perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin bertarikh akhir masa
Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi pribadi di London.
Benda-benda ini dilaporkan berasal dari kuburan di Lumajang, Jawa Timur,
yang sudah sering dijarah…” Bellwood dengan ini hendak menyatakan bahwa
sebelum tahun 221 SM, para pedagang pribumi diketahui telah melakukan
hubungan dagang dengan para pedagang dari Cina.

Masih menurutnya,
perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan antar sesama
pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang dimaksudkan kerajaan
adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki wilayah yang luas. Sebab
kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera baru
didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapi
bisa saja terjadi, “kerajaan-kerajaan kecil” yang tersebar di beberapa
pesisir pantai sudah berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai
catatannya.

Di Jawa, masa sebelum masehi juga tidak ada catatan
tertulisnya. Pangeran Aji Saka sendiri baru “diketahui” memulai sistem
penulisan huruf Jawi kuno berdasarkan pada tipologi huruf Hindustan pada
masa antara 0 sampai 100 Masehi. Dalam periode ini di Kalimantan telah
berdiri Kerajaan Hindu Kutai dan Kerajaan Langasuka di Kedah, Malaya.
Tarumanegara di Jawa Barat baru berdiri tahun 400-an Masehi. Di
Sumatera, agama Budha baru menyebar pada tahun 425 Masehi dan mencapai
kejayaan pada masa Kerajaan Sriwijaya.

Temuan G. R Tibbets
Adanya
jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera dan
Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G. R. Tibbetts. Bahkan
Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang
terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari
wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan
bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara
saat itu.

“Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah
menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke
negeri Cina sejak abad kelima Masehi, ” tulis Tibbets. Jadi peta
perdagangan saat itu terutama di selatan adalah Arab-Nusantara-China.

Sebuah
dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat
tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 tahun setelah
Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah
Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di sebuah
pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim
yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya.

Di
perkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim dan telah
melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahi
perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah beranak–pinak di
sana. Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan tempat-tempat
pengajian al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal bakal
madrasah dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah
(masjid).


Temuan ini
diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang pencatat sejarah
Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan satu kelompok
bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera.
Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah
pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKA
juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para
pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika.

Pembalseman Firaun Ramses II Pakai Kapur Barus Dari Nusantara
Dari
berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah pesisir
Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau yang juga disebut Fansur.
Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara
kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan. Di zaman
Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun ketika Sriwijaya
mengalami kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Barus
pun masuk dalam wilayah Aceh.

Amat mungkin Barus merupakan kota
tertua di Indonesia mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya
Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal Masehi oleh
literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria, Armenia, China,
dan sebagainya.

Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius
Ptolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di
Aleksandria Mesir, pada abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa
di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai
(Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus.

Bahkan
dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari
kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat
pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun
sebelum Masehi!

Berdasakan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi,
Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara
sekitar abad ke-7 Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman
Mahligai, Barus, di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun
672 Masehi. Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudah
ada pada era itu.

Sebuah Tim Arkeolog yang berasal dari Ecole
Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis yang bekerjasama dengan
peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu
Tua-Barus, telah menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus
telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa
seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau,
Bugis, Bengkulu, dan sebagainya.

Tim tersebut menemukan banyak
benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan tahun dan ini
menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur.

Di
Barus dan sekitarnya, banyak pedagang Islam yang terdiri dari orang
Arab, Aceh, dan sebagainya hidup dengan berkecukupan. Mereka memiliki
kedudukan baik dan pengaruh cukup besar di dalam masyarakat maupun
pemerintah (Kerajaan Budha Sriwijaya). Bahkan kemudian ada juga yang
ikut berkuasa di sejumlah bandar. Mereka banyak yang bersahabat, juga
berkeluarga dengan raja, adipati, atau pembesar-pembesar Sriwijaya
lainnya. Mereka sering pula menjadi penasehat raja, adipati, atau
penguasa setempat. Makin lama makin banyak pula penduduk setempat yang
memeluk Islam. Bahkan ada pula raja, adipati, atau penguasa setempat
yang akhirnya masuk Islam. Tentunya dengan jalan damai (Rz/eramuslim)
Sejarahwan T. W. Arnold dalam karyanya “The Preaching of Islam
(1968) juga menguatkan temuan bahwa agama Islam telah dibawa oleh
mubaligh-mubaligh Islam asal jazirah Arab ke Nusantara sejak awal abad
ke-7 M.

Setelah abad ke-7 M, Islam mulai berkembang di kawasan
ini, misal, menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977
M, seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah
mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara (F.
Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau Ju Kua, His Work On Chinese and
Arab Trade in XII Centuries, St.Petersburg: Paragon Book, 1966, hal.
159).

Bukti lainnya, di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur, sebuah
batu nisan kepunyaan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun
bertanggal tahun 1082 telah ditemukan. Penemuan ini membuktikan bahwa
Islam telah merambah Jawa Timur di abad ke-11 M (S. Q. Fatini, Islam
Comes to Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39).

Dari
bukti-bukti di atas, dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk ke
Nusantara pada masa Rasulullah masih hidup. Secara ringkas dapat
dipaparkan sebagai berikut: Rasululah menerima wahyu pertama di tahun
610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertama
tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah secara
diam-diam—periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal pertama
tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dari
Makkah ke seluruh Jazirah Arab.

Menurut literatur kuno Tiongkok,
sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir
Sumatera (Barus). Jadi hanya 9 tahun sejak Rasulullah SAW
memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah
terdapat sebuah perkampungan Islam.

Selaras dengan zamannya, saat
itu umat Islam belum memiliki mushaf Al-Qur’an, karena mushaf Al-Qur’an
baru selesai dibukukan pada zaman Khalif Utsman bin Affan pada tahun 30
H atau 651 M. Naskah Qur’an pertama kali hanya dibuat tujuh buah yang
kemudian oleh Khalif Utsman dikirim ke pusat-pusat kekuasaan kaum
Muslimin yang dipandang penting yakni (1) Makkah, (2) Damaskus, (3)
San’a di Yaman, (4) Bahrain, (5) Basrah, (6) Kuffah, dan (7) yang
terakhir dipegang sendiri oleh Khalif Utsman.

Naskah Qur’an yang
tujuh itu dibubuhi cap kekhalifahan dan menjadi dasar bagi semua pihak
yang berkeinginan menulis ulang. Naskah-naskah tua dari zaman Khalifah
Utsman bin Affan itu masih bisa dijumpai dan tersimpan pada berbagai
museum dunia. Sebuah di antaranya tersimpan pada Museum di Tashkent,
Asia Tengah.

Mengingat bekas-bekas darah pada lembaran-lembaran
naskah tua itu maka pihak-pihak kepurbakalaan memastikan bahwa naskah
Qur’an itu merupakan al-Mushaf yang tengah dibaca Khalif Utsman sewaktu
mendadak kaum perusuh di Ibukota menyerbu gedung kediamannya dan
membunuh sang Khalifah.

Perjanjian Versailes (Versailes Treaty), yaitu perjanjian damai yang diikat pihak Sekutu dengan Jerman pada akhir Perang Dunia I, di dalam pasal 246 mencantumkan sebuah ketentuan mengenai naskah tua peninggalan Khalifah Ustman bin Affan itu yang berbunyi:
(246)

Di dalam tempo enam bulan sesudah Perjanjian sekarang ini memperoleh

kekuatannya, pihak Jerman menyerahkan kepada Yang Mulia Raja Hejaz

naskah asli Al-Qur’an dari masa Khalif Utsman, yang diangkut dari
Madinah oleh pembesar-pembesar Turki, dan menurut keterangan, telah
dihadiahkan kepada bekas Kaisar William II (Joesoef Sou’yb, Sejarah
Khulafaur Rasyidin, Bulan Bintang, cet. 1, 1979, hal. 390-391)
.
Sebab
itu, cara berdoa dan beribadah lainnya pada saat itu diyakini
berdasarkan ingatan para pedagang Arab Islam yang juga termasuk para
al-Huffadz atau penghapal al-Qur’an.

Menengok catatan sejarah,
pada seperempat abad ke-7 M, kerajaan Budha Sriwijaya tengah berkuasa
atas Sumatera. Untuk bisa mendirikan sebuah perkampungan yang berbeda
dari agama resmi kerajaan—perkampungan Arab Islam—tentu membutuhkan
waktu bertahun-tahun sebelum diizinkan penguasa atau raja. Harus
bersosialisasi dengan baik dulu kepada penguasa, hingga akrab dan
dipercaya oleh kalangan kerajaan maupun rakyat sekitar, menambah
populasi Muslim di wilayah yang sama yang berarti para pedagang Arab ini
melakukan pembauran dengan jalan menikahi perempuan-perempuan pribumi
dan memiliki anak, setelah semua syarat itu terpenuhi baru mereka—para
pedagang Arab Islam ini—bisa mendirikan sebuah kampung di mana
nilai-nilai Islam bisa hidup di bawah kekuasaan kerajaan Budha
Sriwijaya.

Perjalanan dari Sumatera sampai ke Makkah pada abad
itu, dengan mempergunakan kapal laut dan transit dulu di Tanjung
Comorin, India, konon memakan waktu dua setengah sampai hampir tiga
tahun. Jika tahun 625 dikurangi 2, 5 tahun, maka yang didapat adalah
tahun 622 Masehi lebih enam bulan. Untuk melengkapi semua syarat
mendirikan sebuah perkampungan Islam seperti yang telah disinggung di
atas, setidaknya memerlukan waktu selama 5 hingga 10 tahun.

Jika
ini yang terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab yang mula-mula
membawa Islam masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam generasi
pertama para shahabat Rasulullah, segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib
r. A..

Kenyataan inilah yang membuat sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara
sangat yakin bahwa Islam masuk ke Nusantara pada saat Rasulullah masih
hidup di Makkah dan Madinah. Bahkan Mansyur Suryanegara lebih berani
lagi dengan menegaskan bahwa sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul,
saat masih memimpin kabilah dagang kepunyaan Khadijah ke Syam dan
dikenal sebagai seorang pemuda Arab yang berasal dari keluarga bangsawan
Quraisy yang jujur, rendah hati, amanah, kuat, dan cerdas, di sinilah
ia bertemu dengan para pedagang dari Nusantara yang juga telah
menjangkau negeri Syam untuk berniaga.


Sebab itu, ketika

Muhammad diangkat menjadi Rasul dan mendakwahkan Islam, maka para

pedagang di Nusantara sudah mengenal beliau dengan baik dan dengan cepat
dan tangan terbuka menerima dakwah beliau itu,” ujar Mansyur yakin.

Dalam
literatur kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang Arab disebut sebagai
orang-orang Ta Shih, sedang Amirul Mukminin disebut sebagai Tan mi mo
ni’. Disebutkan bahwa duta Tan mi mo ni’, utusan Khalifah, telah hadir
di Nusantara pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah dan menceritakan
bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dengan telah tiga kali
berganti kepemimpinan. Dengan demikian, duta Muslim itu datang ke
Nusantara di perkampungan Islam di pesisir pantai Sumatera pada saat
kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan (644-656 M). Hanya berselang
duapuluh tahun setelah Rasulullah SAW wafat (632 M).

Catatan-catatan
kuno itu juga memaparkan bahwa para peziarah Budha dari Cina sering
menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang
abad ke-7 Masehi untuk mengunjungi India dengan singgah di Malaka yang
menjadi wilayah kerajaan Budha Sriwijaya.
Gujarat Sekadar Tempat Singgah
Jelas,
Islam di Nusantara termasuk generasi Islam pertama. Inilah yang oleh
banyak sejarawan dikenal sebagai Teori Makkah. Jadi Islam di Nusantara
ini sebenarnya bukan berasal dari para pedagang India (Gujarat) atau
yang dikenal sebagai Teori Gujarat yang berasal dari Snouck Hurgronje,
karena para pedagang yang datang dari India, mereka ini sebenarnya
berasal dari Jazirah Arab, lalu dalam perjalanan melayari lautan menuju
Sumatera (Kutaraja atau Banda Aceh sekarang ini) mereka singgah dulu di
India yang daratannya merupakan sebuah tanjung besar (Tanjung Comorin)
yang menjorok ke tengah Samudera Hindia dan nyaris tepat berada di
tengah antara Jazirah Arab dengan Sumatera.

Bukalah atlas Asia
Selatan, kita akan bisa memahami mengapa para pedagang dari Jazirah Arab
menjadikan India sebagai tempat transit yang sangat strategis sebelum
meneruskan perjalanan ke Sumatera maupun yang meneruskan ekspedisi ke
Kanton di Cina. Setelah singgah di India beberapa lama, pedagang Arab
ini terus berlayar ke Banda Aceh, Barus, terus menyusuri pesisir Barat
Sumatera, atau juga ada yang ke Malaka dan terus ke berbagai pusat-pusat
perdagangan di daerah ini hingga pusat Kerajaan Budha Sriwijaya di
selatan Sumatera (sekitar Palembang), lalu mereka ada pula yang
melanjutkan ekspedisi ke Cina atau Jawa.

Disebabkan letaknya yang
sangat strategis, selain Barus, Banda Aceh ini telah dikenal sejak
zaman dahulu. Rute pelayaran perniagaan dari Makkah dan India menuju
Malaka, pertama-tama diyakini bersinggungan dahulu dengan Banda Aceh,
baru menyusuri pesisir barat Sumatera menuju Barus. Dengan demikian,
bukan hal yang aneh jika Banda Aceh inilah yang pertama kali disinari
cahaya Islam yang dibawa oleh para pedagang Arab. Sebab itu, Banda Aceh
sampai sekarang dikenal dengan sebutan Serambi Makkah

0 Responses to "ISLAM MASUK KE NUSANTARA SAAT RASULULLAH SAW MASIH HIDUP"